Gunung Kerinci, gunung berapi tertinggi di Indonesia dan Asia Tenggara merupakan pendakian luar Pulau Jawa pertama gw. Berawal dari kenalan di Pendakian Gunung Gede di tahun 2017 dengan Thomas, Surya, dan Kak Sisca ditambah Ray, kita pun mendaki Gunung Kerinci di akhir tahun 2018.

Jalur pendakian resmi Gunung Kerinci ini dibagi menjadi dua yaitu:
- Jalur pendakian Kersik Tuo yang gw lakuin karena jalur ini merupakan jalur yang lebih favorit di masyarakat umum
- Jalur pendakian Solok Selatan
Berangkat dari Jakarta
Setelah melakukan persiapan matang dari Jakarta (yang dilakukan Kak Siska, karena gw jelek banget planningnya ^^) termasuk:
- Booking tiket pesawat
- Hitung biaya pengeluaran
- Booking kendaraan dari bandara ke basecamp
- Makanan dan logistik yang dibawa
- Jasa porter yang akan kita pakai, Bang Sugi dari Basecamp Kersik Tuo
Kita pun berangkat dari bandara Soekarno Hatta, Jakarta ke Bandara Sultan Thaha Jambi dengan waktu tempuh 1 jam 15 menit.

Disambung jalur darat ke Basecamp Kersik Tuo yang memakan waktu hingga 12 jam perjalanan, kami pun menikmati langit Sumatra dengan alunan asik dangdut remix yang membuat gw terjaga sampai pagi.

12 Jam dan Album Kemudian
Sesampainya di Basecamp Mak Jus di Kersik Tuo, kita langsung ketemu sama Bang Sugi, porter andalan Gunung Kerinci sekaligus pemilik basecamp di sana.

Kalo kalian sering naik gunung, pasti ngerti rasanya sampe di tempat tujuan. Fisik rasanya udah remuk karena perjalanan sebelum pendakian. Berhubung Kerinci terkenal karena medannya yang cukup menantang, kita memutuskan untuk melakukan pemanasan ke Danau Gunung Tujuh.
Danau Gunung Tujuh ini sendiri biasa dijajal para pendaki setelah mendaki Gunung Kerinci. Tapi karena kita sampe di Basecamp Kersik Tuo pada pagi hari, kita memutuskan untuk pemanasan dan beristirahat satu malam sebelum pendakian ke Gunung Kerinci besoknya.
Terkenal sebagai salah satu danau tertinggi di Indonesia dengan ketinggian hampir mencapai 2.000mdpl, air pegunungan bisa di danau ini bisa langsung diminum! Rasanya wah seger minta ampun! Beda deh sama rasa air botol kemasan. Satu hal yang harus dicoba kalo kalian ke Danau Gunung Tujuh: nyiduk dan minum air langsung dari tengah danau.
Setelah naik turun Danau Gunung Tujuh, kita langsung kembali ke Basecamp Kersik Tuo dan beristirahat. Dengan rencana pendakian tiga hari dua malam, kami pun bersiap-siap malam sebelumnya dari sisi peralatan, logistik, dan juga itinerary.

Hari Pertama
Bangun jam 6 pagi, kita langsung bersiap melakukan pendakian. Sehabis melakukan sarapan di Basecamp, perjalanan pun langsung kita mulai.


Peta pendakian Gunung Kerinci dibagi menjadi beberapa pos sebagai berikut:

Detail pos pendakian bisa juga disebut sebagai berikut:
- Pos 1 (Pesanggrahan 1)
- Pos 2 (Bangku Panjang)
- Pos 3 (Pesanggrahan 2)
- Shelter 1
- Shelter 2
- Shelter 3
Berjalan dari Pos Pintu Rimba, kita udah diperingati untuk bawa turun sampah. Ingat, jangan membuang sampah di gunung! Sampah sekecil apapun harus dibawa turun.

Pos 1 hingga Shelter 1
Jalur pendakian kita mulai, dengan menyusuri hutan dari Pos 1 hingga Pos 3, kami ketemu dengan banyak pendaki. Berlokasi di dalam hutan, Pos 1 hingga Pos 3 memiliki trek yang landai dan tidak terlalu curam.



Setelah menghabiskan kurang lebih tiga jam dari Pos 1 ke Pos 3, lokasi setiap pos bernuansa gelap dan tidak disarankan untuk ngecamp. Tiga alasan utamanya adalah:
- Tanah yang tidak terlalu luas
- Minimnya sumber air
- Merupakan lokasi habitat harimau Sumatra
Setelah keluar dari tiga pos tersebut, Shelter 1 adalah tempat yang cocok untuk berkemah. Tanah lapang yang luas menjadi alasan utama orang mendirikan tenda di sini.

Shelter 1 hingga Shelter 3
Trek panjang mulai menjulang jauh. Perjalanan dari Shelter 1 ke Shelter 2 Gunung Kerinci merupakan trek terpanjang. Dengan tanah basah yang mulai bergumpal tinggi, kaki ini dipaksa untuk diangkat jauh dari atas tanah. Kami pun melangkah dengan harapan mendapatkan air di Shelter 2 karena persediaan air mulai menipis.
Namun, rasa kecewa pun datang ketika kita sampai di Shelter 2. Sumber air yang sudah habis dan tanah lapang yang ludes terisi tenda tidak menyisakan tempat lagi untuk kami. Dengan langkah yang mulai berat dan tenggorokan mulai kering, kami memutuskan untuk hajar ke Shelter 3.
Waktu udah menunjukkan jam 4 sore. Gosip punya cerita, Shelter 2 ke Shelter 3 adalah jalur pendakian yang paling menyiksa. Begitu kelar dari Shelter 2, di hadapan kita udah ga ada jalurnya. Kita harus mendongak 60 derajat dengan jalur yang sempit..baru keliatan..apanya? Trek pendakiannya 🙁



Setelah sekitar satu setengah jam kita nanjak, angin mulai berasa makin kencang. Enak sih..adem dan dingin. Keringat juga udah mulai kering dan ga berasa.
Tapi mental sama tangan udah mulai capek. Ditambah karena banyak ranting dan akar liar, tangan mau ga mau harus ikutan main buat narik dan nopang badan. Rada pe-er banget kalo waktu keringetan dan harus ngelap keringet di jidat. Muka berasa ciuman sama tanah.Tapi kalo diinget inget lagi, gw hajar aja karena uda cape banget nanjak dari jam 8 pagi sampe jam 6 sore.


Langit dari yang tadinya cerah mulai berwarna biru gelap. Waktu udah menunjukkan pukul 6.30. Cemas was was juga kok ga sampe sampe di Shelter 3. Shelter 3 Gunung Kerinci sendiri merupakan tempat ngecamp yang paling banyak ditinggalin. Dua alasan utamanya adalah:
- Tanah yang lapang dan hanya berjarak dua jam ke puncak
- Tersedia sumber air walaupun untuk mengambilnya merupakan tantangan berat
Sembari mendaki, kami pun mulai mendengar orang-orang mulai berisik. Ada yang teriak teriak, suara instruksi minta difotoin, sampe suara kebingungan bikin tenda. YES! Dalam hati gw..shelter 3 pasti udah dekat. Ga sampe 10 menit, kita sampe di shelter tiga jam 7 kurang. Ngedaki hampir 11 jam dari jam 8 pagi, koit bro sis rasanya!
Saking susahnya itu Shelter 2 ke Shelter 3, sesampenya di Shelter 3 gw rasanya terharu banget! Aneh..ga pernah ngerasa berhasil muncak padahal belom sampe puncak. Masih di campsite terakhir. Tapi ya gitu..mungkin rasanya dan capeknya naik gunung baru kebayar ketika kita sampe titik tertentu. Kami berkumpul, berdoa untuk berterima kasih sudah disampaikan di Shelter 3 dengan selamat.

Seakan disambut oleh Gunung Kerinci, kami – para pendaki di Shelter 3 disuguhkan pemandangan matahari terbenam yang istimewa senja itu.


Malam itu, kami beristirahat dalam dua tenda. Karena kami ber-6 dengan Bang Sugi, pembagian tenda diatur menjadi 3-3. Gak pake pikir panjang, kita pun langsung masak (gw sih nonton masak sambil ngiris2 sayuran dan bawang putih aja hihihi).
Plung plung plung cesssss, suara bakso yang masuk ke dalam kuah sop bumbu tidak instant itu sungguh indah.


Selesai makan malam, kita pun langsung beristirahat. Memejamkan mata. Malam itu tanggal 30 Desember 2018. Kami siap menyongsong pagi terakhir di 2018 dengan menggapai Puncak Gunung Kerinci. Tapi sebelumnya, selimutan dalam sleeping bag dulu ya.
Hari Kedua
Matahari masih terbenam, tapi alarm sudah berteriak. Mata masih sayu, kaki dan paha udah mulai berasa kencang karena hiking di hari pertama. Gw buka hp dan waktu udah menunjukkan jam 3 pagi.
Siku pertama meluncur ke Thomas yang tidur di sebelah gw.
“Thom, bangun gak?”, tanya gw
“Yok.yok..yok…..”, antara menggerutu atau mengiyakan
Kita ber-enam pun langsung bersiap-siap. Makan sarapan secukupnya, ga kekenyangan dan ga kedikitan. Bawa air dan logistik yang dikumpul jadi satu tas. Headlamp siap, pemanasan juga, kaki dan paha tetap kencang-kencang sedap. Mulailah kita melakukan….
Summit attack Gunung Kerinci!
Dimulai dari Shelter 3, kita berjalan ke puncak. Trek Puncak Gunung Kerinci tidak seperti Gunung Rinjani dan Semeru yang penuh pasir dan batu. Melainkan penuh dengan kerikil. Batas vegetasi juga sudah kita lewati, artinya tidak ada lagi pohon yang melindungi kami, para pendaki dari hembusan angin subuh.
Langit masih gelap dengan sayup-sayup bisik pendaki. Bersama ratusan orang yang sedang muncak Gunung Kerinci, kami mulai kelelahan, tapi langkah terus bergerak walaupun tanpa suara.
Setelah mendaki selama dua jam dari Shelter 3, kami sampai di Tugu Yudha, monumen untuk memperingati Yudha Sentika, siswa penggiat alam yang hilang sejak 1990 bersama rombongan teman-temannya.

Selain beliau ada juga makam beberapa pendaki lain yang menjadi korban pendakian Gunung Kerinci. Kala itu, kami berenam berhenti dan berdoa, menghormati nama para pendaki yang terpapar 30 menit dari Puncak Indrapura, Puncak Gunung Kerinci.

Jam sudah menunjukkan sekitar pukul 5 pagi. Matahari masih belum terlihat, sosok awan tertutup. Kami para pendaki di Tugu Yudha, berselimut kabut tebal dengan kecemasan hujan akan turun.


Tanah kerikil mulai meninggi, begitu juga dengan matahari. Kami pun terus berjalan menuju puncak. Trek pendakian lebih didominasi dengan batu kerikil daripada tanah.


Setelah satu setengah hingga dua jam perjalanan, kami terus mendaki. Hingga akhirnya kami mencapai Puncak Indrapura, Gunung Kerinci. Eng ing eng…3805 MDPL (meter di atas permukaan laut)


Bergaya cool padahal kedinginan


Pagi terakhir 2018 kami habiskan di puncak Gunung Kerinci, atap Sumatra. Salah satu alasan mengapa kami memutuskan untuk mendaki sekarang adalah besar harapan bisa melihat kembang api dari atas gunung.
Tapi sebelum malam tahun baru, ada satu hal yang masih harus kami lakukan. Turun dari puncak.

Gw berlari-lari kecil dengan bergaya ngesot sana sini. Takut ngegelinding, walaupun kadang kepeleset kepeleset lucu. Tau kan kepeleset lucu kayak gmn? Yang masih bisa sambil ngomong “eeee…,eeee…,eee..hampir aja”.
Sesampainya di Shelter 3, gw pun langsung masuk tenda. Istirahat, tidur siang. Andaikan setiap muncak gunung bisa seperti ini, ga harus dihajar turun ke bawah, tapi bisa tidur siang, menghabiskan satu malam lagi di pegunungan..Sayang tidak setiap Senin kita libur…


Setelah muncak, gw menghabiskan pagi dan siang hari dengan tidur siang. Nyaman, enak, ga keburu buru ini itu.
Ga tau berapa lama gw tidur rasanya. Thomas goyang2in badan gw dengan kalimat merdu:
“Makan malam yan, udah siap nih”
Mohon diingat kalo disini posisinya bukan gw ga mau bantu…tapi gw ga bisa bantu karena ketiduran. Tapi apa mau dikata, gw pun bangun dan menyantap opor ayam malam itu.
Apa?! Opor ayam? Di atas gunung? Bohong lu yan. Eee..seriusan liat aja nih menu eksklusif kita.

Kenyang dan puas, kita pun berleha leha. Ngobrol ngalur ngidul sambil menghias tenda untuk meramaikan malam tahun baru.


Malam itu Shelter 3 Gunung Kerinci rame akan obrolan para pendaki. Walaupun rame, beruntung karena seinget gw, kita ga denger kalimat kasar ataupun jorok dari pendaki yang lebih muda.
Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, lampu kota mulai bermunculan. Cantik kayak main ular tangga penuh warna, sayangnya kembang api sepertinya tidak terlihat dari Shelter 3.
Mungkin memang jangkauan cahaya tidak dapat kami tangkap. Kami, para pendaki yang berada ribuan meter diatas permukaan laut, asoyyyy.

Setelah puas memanjakan mata ke lampu kota, waktunya kami menghadap ke atas. Langit dengan balutan tata surya. Beruntung sekali memang kami waktu itu. Pemandangan atas dan bawah sangat cantik dan memanjakan mata.

Setelah capek ngedongan ke atas, kami pun masuk ke dalam tenda. Bersiap untuk istirahat.
Alas makan sudah dibereskan, peralatan masak kita taro ujung tenda, bertetanggalah mereka dengan tas carrier.
Gw buka sleeping bag, masuk dan menyelinap selayaknya kepompong besar. Berada di dalam tenda biru, gw mulai memejamkan mata, bersiap untuk istirahat.
Rasanya baru sepuluh menit mata ini terpejam dan pikiran gw mulai setengah sadar, kesunyian malam di Shelter 3 pun dipecah oleh suara dari tenda sebelah gw.
“Huhuhuhuhu”, isak tangis perempuan terdenga dari sebelah kanan
Bingung masih setengah sadar, gw mencoba ga peduli. Masih mencoba memejamkan mata, isak tangis itu pun terdengar lagi.
Gw pun mulai resah. Dalam hati gw mikir, “ini siapa…ini kenapa lagi…”
Suara tangis masih kedengeran dari sebelah. Gw pun masih bingung sambil mulai merinding. Mata udah ga sayup-sayup ngantuk. Sekarang, mata gw ngeliat ke atas tenda.
Dengan mata menghadap ke langit biru tenda. Pikiran gw mulai berjalan ke hal hal spiritual.
“Huu…huuuu..huu..”, suara tangisnya mulai memelan menjadi lebih sendu.
Perlahan, resleting sleeping bag abu-abu di sebelah kanan pun gw buka. Tangan kiri gw mulai keluar, narik setengah badan gw buat duduk. Posisi kaki masih dalam sleeping bag, gw duduk di dalam tenda.
Gw tengok ke arah Thomas, kita lihat-lihatan. Dengan mata sembari bergerak ke arah tenda sebelah dimana suara tangis itu berasal, mata kita mengkonfirmasi hal yang sama.
Yang nangis bukan yang punya badan.
Resah, bingung, mau ngobrol juga takut malah kena atau disamperin. Gw ngobrol seadanya sama Thomas. Mencoba mengalihkan perhatian dan keadaan.
Gw mencoba tidur..suara itu masih kedengeran. Ga berapa lama suara orang berkumpul pun mulai kedengeran jelas.
Para pendaki mulai bertanya sama perempuan tersebut.
“Kamu kenapa?”
“Kemana si dia (perempuan aslinya?”
“Kamu siapa? Sakit gak?”
“Minum dulu ya, jangan sampe kedinginan”
“Ini teh hangatnya”
Banyak respon campuran mengajak ngobrol dia yang gw ga masih ga ngerti kejadian apa yang sedang terjadi.
Suara ngobrol pun makin berlanjut.
Dari yang awalnya takut merinding, lama kelaamaan gw jadi kebiasa. Malah, karena saking banyaknya yang ngobrol, mau tidur pun jadi sulit.
Akhirnya gw keluar tenda dan mengintip keadaan tenda sebelah.

Peristiwa ini pun berlangsung lebih dari tiga jam. Di kesunyian Shelter 3, cuman suara satu perempuan dan para pendaki laki-laki yang terjaga mencoba menyadarkan pemilik raga.
Hingga suatu titik, jam menunjukkan pukul satu pagi. Gw udah tertidur sesaat. Suara perkumpulan makin kencang. Para pendaki mulai mengumandangkan Adzan ber-ramai-ramai.
Setengah terjaga dan mengantuk, gw memilih untuk berdiam diri di tenda sebelah mereka. Mencoba memejamkan mata sambil berharap semoga tidak ada kejadian lain di sini. Antara di perempuan itu, ataupun pendaki lain. Tanpa sadar, gw pun terlelap di subuh pertama 2019.
Hari Ketiga
Pagi pun tiba. Kami semua sudah terbangun, sarapan, dan mulai membereskan tenda. Sekilas gw lihat tenda semalam. Seorang perempuan masih duduk sementara para pendaki lain membantu membereskan tenda grup mereka. Dia terlihat lemas banget.
Dengan jaket lebih dari satu rangkap dan teh hangat di genggamannya, matanya masih kosong melihat Puncak Indrapura.
Kita masih terdiam akan peristiwa semalam. Mencoba mengalihkan perhatian (lagi), packing pun dilakukan sambil berbasa basi apa yang akan dilakukan ketika kita turun.


Setelah selesai mengepak seluruh barang ke dalam tas karrier masing-masing. Tidak lupa kami mengubur sampah organik yang kami hasilkan dari perkemahan di Shelter 3. Kulit buah, beras sisa, tulang ayam, semua sampah organik kami pupuk di dalam tanah.
Mencoba memiliki kebiasaan yang bertanggung jawab, pendakian Gunung Kerinci mengajarkan gw bagaimana menjadi pendaki yang baik dan peduli lingkungan satu tingkat di atas “bawa turun sampahmu”.
Kembali ke Basecamp
Masih di perjalanan, akhirnya kita buka bicara tentang peristiwa semalam.
“Bang, semalam itu ada apa ya?”, tanya gw ke Bang Sugi
“Itu dimasukin sama nenek-nenek dari Tugu Yudha”, jawabnya
“Dia nyariin anak nya yang naik Gunung Kerinci. Sampe sekarang belum ketemu”, tambahnya
Masih tidak mengerti apa yang terjadi ditambah masih berada di zona sakral aka hot spot, kita memilih tidak berkomentar banyak selain “Ooh, gitu bang…”
Perjalanan turun tidak banyak hal yang menarik. Berjalan cepat, berlari-lari kecil. Bergantian membawa trash bag dan sejenisnya. Sampai di Pos 3.
Kita lagi beristirahat. Duduk duduk santai sambil minum air putih.

Seorang pendaki perempuan di kanan atas foto terjatuh. Sebelumnya dia duduk di atas gelontongan kayu.

Segitu ramenya pos 3, kita langsung nengok. Bukan karena sakit ato gimana, tapi dari posisi duduk di lantai abis jatoh. Dia kagak bangun..melainkan malah mulai berlutut dan tangannya juga dipakai jadi tumpuan.

Wah mengingat Gunung Kerinci ini tempat kediaman Harimau Sumatra, orang-orang langsung pada ngerumunin. Mulai muncul lah gosip desas desus yang kedengeran “wah kena harimau tuh.. kena tuh kayak yang semalam”
Masih berasa vibe tadi malem, kita pun liat-liatan lagi. Dengan basa basi sedikit tanpa keliatan masing-masing ketakutan, kita ngobrol.
“Udah ga cape kan? Turun yuk”
“Yuk lahhh sebelum kesorean nih”
“Jalan jalannn”
Selang beberapa jam kemudian akhirnya kita sampai di gerbang pendakian. Santai sejenak sambil menunggu dijemput pickup untuk ke basecamp, kami mulai bicara tentang kejadian tadi pagi dan tadi malam.
Sembari hanyut dalam diskusi dan misteri, akhirnya kami mengucap “Selamat tahun baru 2019”.
Makasih kak infonya! Semoga bisa ke kerinci taun depan, salam sobat gunung!