How It Started
Marathon, jarak lari sejauh 42 kilometer, sebuah jarak yang jauh dari angan beberapa tahun lalu. Rasanya cuman bisa mimpi untuk bisa kuat dan lari sejauh ini.
Di tahun 2015, ketika gw mulai lari 5k, jarak 42k adalah jarak yang mustahil. Mana bisa dan mana kuat gw lari 42k tanpa berhenti. Lari 5k aja udah engap dari kilometer 3.
Belum lagi telapak kaki yang selalu sakit dari kilometer 2. Dengan bayangan bahwa gw harus endure rasa sakit tersebut hingga kilometer 42, enakan tidur siang sambil makan es krim di hari Minggu.
Selang lima tahun kemudian, sekarang di tahun 2020, banyak hal baru yang terjadi. Padahal, sampai tahun 2019, lari gw masih begitu-gitu aja. Maksud gw dari begitu-begitu aja adalah lari dengan kondisi berikut:
- Lari dengan jarak sesuai mood
- Pace juga sesuai mood
- Pemanasan yang kurang panas
- Kurang lamanya masa pdkt dengan sepatu
- Setiap workout yang dilakukan cuman punya satu tujuan, menjadi lebih cepat dari workout sebelumnya
Kemudian di tahun 2020 bulan Januari, gw berhasil lari 30k di acara Superball dengan training plan dari Nike Run Club menggunakan jarak Marathon. Semua program gw lakukan dengan menu yang tertera di Nike Run Club (NRC). Proses race jarak segitu pertama gw, bener-bener mengalahkan mental gw karena beberapa alasan.
Satu, gw ga pernah lari lebih jauh dari 21k (Half Marathon). Itu pun, pertama kalinya gw lari Half Marathon, gw udah jalan dari kilometer 13an hingga 21. Ditambah, selama proses latihan gw ga yakin bahwa akurasi GPS dari HP untuk NRC itu akurat. Beberapa kali gw bandingin, NRC dengan aplikasi lain, NRC menghasilkan pace paling cepat. Tapi gw go wit
Kedua, gw ga ngerti badan gw itu punya kapabilitas kayak gimana. Selama 21k dari 30k race, gw maksa lari bareng sama dua temen gw yang punya pace lebih cepat. Tapi waktu itu gw paksain karena alasan bahwa ini bakal jadi race yang panjang. Punya temen selama lari bareng bakal bikin tambah semangat. Gw bener-bener disregard fakta bahwa kondisi fisik tiap pelari itu beda.
Ketiga, dari 21k, gw cuman bisa jalan sambil berhenti sesekali. Bahkan ada waktu dimana gw duduk untuk istirahat. Di titik itu, gw cuman bisa jalan pelan-pelan karena energi, tenaga, dan mental bener-bener udah habis dari kilometer 21.
Bulan Februari, selang satu bulan setelah Superball 30k, Bali Marathon mengumumkan pembukaan acaranya. Merasa tanggung karena terakhir hanya bisa finish 30k, gw beranikan diri untuk mendaftar di acara FULL MARATHON. Sebuah target yang gw rasa cukup menantang tapi masih merasa mustahil untuk dilakukan. Dari sinilah, proses latihan gw pun dimulai.
Choosing Training Plan and Low Heart Rate Training
Oke, goal sudah ditetapkan. Sekarang perdebatan yang langsung muncul adalah: GW LATIHAN PAKE APA YA?
Untuk Nike Run Club, gw disregard opsi ini karena jarak yang gw tempuh selama latihan rasanya kurang merefleksikan jarak aslinya waktu race. Kemudian, gw mencoba latihan pake Endomondo, karena gw punya akun premium untuk satu tahun yang ga pernah dipake sebelumnya.
Dengan Endomondo, ada beberapa metode training yang bisa dilakukan selama latihan seperti:
- Easy Run
- Interval
- Tempo Run
- Long Run
Bulan Februari pun dimulai dengan Training Plan dari Endomondo. Walaupun gw punya Garmin Forerunner (FR) 15 (discontinued), jam ini ga pernah gw pake karena waktu lari Superball 30k, GPS nya mati di kilometer 15. Daripada kejadian lagi, gw lupakan jam ini dan berlari menggunakan Endomondo dan menggunakan GPS HP (Samsung Galaxy S8).
Hingga dua bulan, gw lari on dan off karena berikut Coronavirus mulai ga bertebaran. Bali Marathon pun mulai memberikan ancang-ancang event akan dicancel. Alhasil, training plan gw juga jadi mood-moodan. Selama periode ini, gw mulai menemukan yang namanya MAF Method, metode lari yang menggunakan Heart Rate sebagai dasar training plan dengan kalkulasi:
Maximum HR beats per minute (bpm): 180 – umur
Dalam kasus ini, sewaktu gw lari gw umur 26, jadi maximum bpm gw adalah 154. Kalau diatas 154, gw harus melambat, jalan, atau berhenti. Apapun caranya, ga ngelakuin workout di atas 154 bpm.
MAF Method ini masuk ke kategori Low Heart Rate Training, dimana banyak artikel, video, dan podcast episode yang membahas ini karena metode ini lebih mengutamakan untuk membentuk aerobic base yang berarti gerakan yang dilakukan akan dibakar dari oksigen tanpa menimbulkan kelelahan. Hal ini berbanding terbalik dengan anaerobic base yang membutuhkan intensitas tinggi namun tidak dapat bertahan lama karena sumber tenaga yang digunakan bukanlah dari oksigen melainkan dari glukosa. Untuk penjelasan lebih lanjut, bisa cek di jurnal berikut.
Masih sulit percaya bahwa lari lambat, bisa membuat tubuh lebih kuat dengan kecepatan lebih tinggi, riset pun gw terdalam sampai akhirnya gw ketemu channel Youtube Floris Gierman. Di channel tersebut, dia membahas total pengertian dari MAF method, success story, frustrasi yang dialami dari fellow runners dan lainnya.
Karena kepercayaan gw juga mulai berubah dari latihan dari pace ke latihan menggunakan heart rate training, di bulan April, training plan dari Endomondo pun gw abaikan dan gw memulai Training Plan baru dari Garmin dengan Heart Rate based training.
Balik ke jam yang gw punya, Garmin FR 15 sudah dilengkapi dengan Heart Rate monitor dalam bentuk chest strap yang mengukur detak jantung dari detak nya per menit. Jadi latihan pun dimulai dengan menggunakan Garmin FR 15. Bedanya, walaupun Garmin Training Plan masih memiliki beberapa Running Zones (Z1, Z2, Z3, Z4, Z5) dimana Z1 merupakan termudah dan Z5 adalah max effort, gw hanya menggunakan acuan waktu dan tetap menggunakan angka MAF untuk berlatih (<=154 bpm).
Selama proses latihan, gw juga mengalami kesulitan untuk tetap konsisten. Awal latihan, untuk tetap berada di bawah 154 bpm, gw harus jalan beberapa kali menghasilkan pace 9:30 min / km ke atas. Kalo gw ngedengerin ego untuk terus ngehajar pace 6 demi update dan kepercayaan diri yang lebih tinggi, performa ga akan meningkat. Jadi, di sini kuncinya adalah sabar dan enjoy. Lari nya ga harus pahit ataupun mati-matian. Berdasarkan pengalaman gw, low-heart-rate training memberikan kesempatan untuk berlari dengan volume lebih banyak dengan risiko cedera yang lebih ringan.
Sampai H-1.5 bulan, gw terus menggunakan Garmin Training Plan untuk latihan, sampai di momen ketika gw sempet lari sama pelari lain dan dia merekomendasikan Run with Hal, app gratis yang tersedia di App Store dan Play Store dengan feedback setiap latihan. Walaupun Run with Hal menggunakan pace sebagai metrik, tapi gw cuma ambil jarak yang kemudian disesuaikan dengan HR zone gw (<=156 bpm).
Marathon Day
Sebelum menuju ke Marathon Day, ada beberapa hal wajib yang harus dilakukan:
- Pakaian, sepatu, celana, dan dalaman
Segala apparel harus sudah pernah dipakai di lari sebelumnya. Salah satu quote yang gw pegang teguh adalah “nothing new on race day”. Setiap training plan pasti ada peak training di sekitar 3 minggu sebelum hari H. Yang dimaksud dari peak training adalah jarak terjauh dari actual racenya. Di kasus ini, gw perlu berlari 30k dan gw pakai semua apparel yang akan gw pakai lagi di hari H. - Fueling, pre-race, post-race
Salah satu webinar tentang endurance training mengajarkan gw bahwa kunci ketahanan tubuh dalam olahraga endurance ada dua, yaitu: cara kerja jantung dan juga nutrisi.
Gw melakukan fueling yang kurang lebih sama dengan race day. Selama lari, gw tes beberapa jenis makanan yang cocok dengan badan gw. Untuk memiliki jumlah energi yang cukup, makanan yang cocok gw konsumsi selama lari adalah pisang dan GU Gel espresso yang beberapa kali dicampur dengan isotonic drink (pocari sweat, iso plus, mizone).
Sedangkan untuk pre-race gw stick ke sari roti gandum dengan selai ovaltine dan post-race dengan apapun TAPI harus diisi dengan salad.
Sementara untuk post-race, gw selalu berusaha untuk include salad satu menu di hari Long Run. Kebiasaan buruk yang sering gw lakuin adalah makan indomie, burger, mie ayam, dan lainnya tapi selalu lupa sama kandungan fiber. Jadi dengan konsumsi satu kali, cukup untuk ngegantiin nutrisi yang diperlukan. - Pace lari hari-H
Ngobrol ngobrol dengan beberapa orang tentang pengalaman FM sebelum2nya, rata-rata temen gw yang baru FM pertama kali cenderung mulai terlalu cepat tapi melambat di kilometer akhir. Berharap belajar dari pelajaran yang teman-teman gw alami, gw berusaha untuk lebih lambat di 21k pertama. Artinya untuk mendapatkan target pace gw di 8:30, gw harus berlari di pace 9 sampe 9.30 awalnya.
Kesimpulannya, untuk pengalaman gw pribadi berlari marathon, gw membutuhkan waktu sekitar 4 bulan total latihan dengan basis sudah pernah lari 30k sebelumnya. Itu pun gw masih tertatih tatih di kilometer terakhir harus jalan juga karena kondisi fisik yang kurang memadai. Kalo ditanya apakah gw mau marathon lagi, mungkin akan dicoba untuk ikut event, jadi berasa euforia nya. Until then, im going to take a break from the (not so) intense training program! ^_^